Mesjid Cipari Garut
Masjid Asy-Syura atau juga disebut Masjid Cipari adalah salah satu masjid tertua di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Masjid yang berlokasi di Kampung Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut ini mulai dibangun tahun 1895 dalam kompleks pesantren dan baru selesai pada tahun 1934. Pendirinya adalah K.H. Yusuf Taudziri.
Mesjid ini berlokasi di jalan Sukarasa Pengatikan Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Memiliki cukup banyak sekat sebagai ventilasi udara, Masjid Cipari punya ciri khas tersendiri. Saat dibangun, para konstruktor setuju untuk menggunakan gaya art deco yang berasal dari Perancis. Jadi tak heran jika bentuknya mirip dengan gereja. Dengan ukuran 30 x 70 meter, Masjid Cipari berdiri di atas tanah seluas 2 hektar dengan menara setinggi 20 meter yang berfungsi sebagai kubah masjid. Jika dilihat dari samping, Mesjid Cipari ini terlihat sebagai seperti bangunan perkantoran ala colonial Belanda.
Mejid dan pesantren ini jelas memiliki peran dalam perjuangan rakyat Indonesia pada kemerdekaan. Para santriselain belajar ilmu agama juga di didik sebagai pejuang. Ini tak lepas dari keberadaan masjid dan pesantren sebagai salah satu pesantren dari organisasi perjuangan syarikat Islam.
Bahkan, masjid juga telah menjadi saksi sejarah di masa kemerdekaan, di mana ia pernah menjadi tempat pengungsian rakyat sekitarya ketika perang kemerdekaan. Bahkan, menurut cerita rakyat setempat, masjid ini pernah diserbu oleh pasukan DI/TII sebanyak 52 kali. Namun, barangkali karena tebal dindingnya yang lebih dari 40 sentimeter, masjid hingga kini masih tegak berdiri dengan kokoh.
Mesjid yang dibangun di jaman colonial belanda ini jelas mencirikan langgam bangunan dai era colonial belanda, bentuk yang memang tak lazim untuk sebuah bangunan masjid di kawasan berpenduduk mayoritas muslim.
Yang membuat Masjid Cipari sangat mirip dengan gereja adalah selain bentuk massa bangunannya yang memanjang dengan pintu utama persis di tengah-tengah tampak muka bangunan, juga keberadaan menaranya yang terletak di ujung bangunan persis di atas pintu utama. Posisi menara dan pintu utama telah menjadikan bangunan ini tampil tepat simetris dari tampak luar. Dari bentuk dan posisi menara dan pintu utama tersebut, bangunan ini jelas mengingatkan kita pada bentuk bangunan-bangunan gereja.
Bangunan masjid ini memanjang dari timur ke barat, bila kita memasuki bangunannya, yang memberi penanda bahwa bangunan ini masjid hanyalah keberadaan ruang mihrab berupa penampil yang menempel di dinding arah kiblat. Sementara, ruang shalatnya pun lebih mirip ruang kelas yang dapat dimasuki dari pintu di sebelah utara dan selatan atau dari pintu timur yang terletak di antara ruang naik tangga.
Mesjid Al-Syura, Cipari ini menjadi salah satu dari dua masjid Indonesia yang mempunyai bentuk mirip dengan gereja. Masjid yang satu lagi adalah Mesjid Somobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur. Bedanya, masjid Somobito berada di kawasan berpenduduk mayoritas beragama kriste, sedangkan Mesjid Al-Syura, Cipari ini berada di tengah-tengah desa yang seluruhnya berpenduduk beragama Islam.
Arsitektur Mesjid Al-Syura, Cipari ini juga diwarnai dengan langgam art deco pada bangunannya. Langgam bangunan yang hamper tidak pernah dijumpai pada masjid kuno diseluruh wilayah di Indonesia. Langgam art deco tampak pada pengolahan fasad masjid. Pola-pola dekorasi geometric memperkuat pemakaian langgam ini.
Pada masjid cipari langgam art deco sebagaimana dicirkan dengan bentuk geometris, terlihat jelas dengan pengolahan fasadnya, pola dekorasi geometris yang berulang di atas material batu kali, garis horizontal yang halus pada sisi samping kanan dan kiri bangunan, serta bentuk menara dan atapnya yang menyerupai kubah dengan beberapa elemen dekorasi pada bagian samping maupun puncaknya.
Menara masjid berketinggian kurang lebih 26 meter dengan kubah menara berdiameter 2 meter, menarik perhatian setiap pengamat. Menjadi symbol untuk menandai bahwa bangunan ini bukan gereja melainkan masjid dengan diletakkannya lambing bulan sabit di ujung menara. Terdapat beberapa lantai pada interiornya, dengan lantai teratas merupakan ruangan sempit berlantai pelat baja yang di kelilingi semacam balkon kecil yang juga dari pelat baja.
Hal yang menarik dari arsitektur masjid al-syura cipari ini adalah tidak adanya bentuk bentuk lengkungan pada bukaan jendela ataupun pintu sebagaimana bentuk masjid masjid biasanya. Tata letak pintu masuk utama yang mengingatkan pada bangunan gereja colonial dengan komposisi pintu dan jendela di sisi samping bangunan yang lebih terlihat seperti pintu masuk dan jendela jendela ruang kelas atau sekolah atau bangunan kantor pada masa kolonial.
Pengajianinsidental sering diadakan berkenaan dengan hari-hari besar islam seperti peringatan tahun baru islam (1 Muharam), Maulid Nabi dan lain-lain. Pengajian bagi santri rutin diadakan setiap hari yaitu ba’da ashar, maghrib, isya dan subuh. Kitab yang di kaji di antaranya kitab fiqh, alat (bahasa), hadist, dan tafsir qur’an.
Santri yang mondok di pondok pesantren cipari ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Diantaranya adalah bandung, jakarta, sumedang, tasik, jawa, Palembang, medan, aceh, Maluku, papua, dll. Santri disini terbagi atas dua kelompok, yaitu santri Takhosus Al-Qur’an dimana mereka hanya memfokuskan pada pengajian Al-Qur’an, Hadist, dan Kitab Kuning, serta santri yang mengaji sambil bersekolah di Mts dan MA. Saat ini pondok pesantren cipari tempat masjid assyura berada di asuh oeh KH. Dr. Amin Bunyamin, Lc. Hc. Yang juga merupakan anggota DPR-RI.